Kunci Ilmu Laduni

Cara Mendapatkan Ilmu Laduni dari Allah Menurut Al Qur’an dan Hadist 
Bismillahir rohmanir rohim,
Sebelum membaca artikel ini, mari luruskan dahulu yaqin kita kepada Allah…
Bahwa Makhluq ini tidak kuasa, tapi Allah yang maha kuasa!
Belajar (menuntut ilmu) diwajibkan untuk semua muslimin dan muslimat (hadits).
Tapi Hakikatnya ilmu dtang dari Allah bukan dari Belajar. Begitu pula rezeki datang bukan dari kerja kita.!
Kita Belajar karena perintah Allah dan Sunnah Nabi.
Jika Allah kehendaki, dengan belajar – Allah berikan ilmu
Jika Allah kehendaki, dengan belajar – tapi Allah tidak berikan ilmu
Jika Allah kehendaki, tanpa belajar pun – Allah berikan ilmu
Laailaha illallah
Belajar itu makhluq, Allah yang kuasa

Kata laduni dipetik dari ayat Allah yang berbunyi:
“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)
ilmu laduni /ilmu mauhub merupakan salah satu ilmu yang harus dimilki oleh orang yang ingin menjadi ahli tafsir alqur’an. Disamping harus mengusai 14 cabang ilmu lainnya seperti ilmu lughah, nahwu, saraf, balaghah, isytiqoqo, ilmu alma’ani, badi’, bayan, fiqh, aqidah, asbabunuzul, nasikh mansukh, ilmu qiraat, ilmu hadits, usul fiqah ( hukum-hukum furu’) dan ilmu mauhub ( fadhilah alqur’an, syaikh maulana zakariyya).
Ilmu ini adalah karunia khusus dari Allah swt.
“man ‘amila bimaa ‘alima waratshullahu ‘ilma maa lam ya’lam”
Artinya : Nabi SAW bersabda :” BARANGSIAPA YANG MENGAMALKAN ILMU YANG IA KETAHUI MAKA ALLAH AKAN MEMBERIKAN KEPADANYA ILMU YANG BELUM IA KETAHUI”
Perkara ini telah dijelaskan oleh sayyidina ‘ali ra. saat beliau menjawab pertanyaan orang ramai, “apakah beliau telah mendapatkan ilmu khusus atau wasiat khusus dari Rasulullah saw. yang hanya diberikan kepada beliau dan tidak kepada orang lain?”
Hazrat ‘ali ra. menjawab :” Demi Tuhan yang telah menciptakan surga dan jiwa-jiwa, aku tidak pernah mendapat apa-apa selain daripada ilmu yang Allah berikan kepada seseorang untuk memahami alqur’an!”
ibnu abi dunya rah. berkata bahwa pengetahuan daripada Al-quran dan apa-apa yang didapati daripada alqu’an begitu luas daripada alqur’an. Seorang pentafsir harus mengetahui 15 cabang ilmu yg disebutkan diatas. Tafsiran orang yang tidak mahir dalam ilmu-ilmu ini adalah termasuk tafsiran bil-rakyi (tafsir menurut fikiran sendiri) yang hal ini DILARANG OLEH SYARA’. Para sahabat ra. mendapat ilmu bahasa arab secara tabii dan ilmu-ilmu lain mereka dapati langsung dari ilmu kenabian (nabi SAW).
Nabi SAW bersabda :” Barang siapa yang berfatwa dalam masalah agama, tanpa ada ilmu maka baginya laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya ” (HR. Imam suyuti).
Jadi Ilmu laduni = ilmu dari Allah asbab hasil amal…karena Allah telah tunjukan cara mendapatkannya pada kita.

Ilmu Laduni dan cara/jalan untuk mendapatkannya didalam ALQUR’AN DAN HADITS :

1. TAKUT KEPADA ALLAH
kitab alhikam, syaikh ibnu athoillah alasykandary (kepala madrasah alazhar-asyarif abad 7 hijriah) menyebutkan nukilan ayat dari alqur’anulkarim :
“wataqullaha wayu’alimukumullah” (Qs. Al baqarah ayat 282)
artinya : “Takutlah kepada Allah niscaya Allah akan mengajari kalian“ (Qs. Al baqarah ayat 282)
Sifat takut/tunduk/patuh hanya kepada Allah, sangatlah mulia. Bukan saja ilmu laduni yang Allah beri tapi Allah akan tundukan semua makhluq padanya bahkan para malaikatpun akan berkhidmad dan senantiasa membantunya (atas izin Allah), sebagai mana maksud dari haidts nabi SAW :
Nabi saw bersbda : “man khofa minallahi khofahu kulla syai waman khofa ghoirallah khofa min kulli syai”
artinya : “Barang siapa yang takutnya hanya kpd Allah maka Smua makhuq akan takut/tunduk padanya. Barangsiapa takut/tunduknya kpd selain Allah maka semua makhluq akan (menjadi asbab) ketakutan baginya “
Lihatlah kisah-kisah salafushalih kita, bagaimana pasukan dakwah sahabat berjalan diatas air melintasi sungai tigris irak, pasukan dakwah sahabat yang berjalan melintasi laut merah, mu’adz bin jabal ra shalat 2 rekaat maka gunung batu yang besar terbelah dua-membuka jalan untuknya, para sahabat terkemuka boleh mendengarkan dzikir benda-benda mati (roti dan mangkuk) .
Abu dzar alghifary ra. atas perintah khalifah umar ra., beliau ditugaskan utk memasukan kembali lahar gunung berapi yang sudah keluar dari kawahnya. maka atas izin Allah, lahar panas tsb masuk kembali ke kawah gunung tsb (hayatushabat).
Abdullah atthoyar ra. boleh terbang seprti malaikat yang punya sayap, maka ketika ditanya oleh rasulullah, apa yang menjadi asbab Allah berikan karomah tersebut, maka beliau menjawab ” saya pun tidak tahu, tapi mungkin karena aku dari sebelum saya masuk islam sampai sekarng pun saya tidak pernah minum khamr, …dst”.

2. MENGAMALKAN ILMU YANG DIKETAHUI
sebuah hadits shohih menyebutkan bahwa nabi muhammad saw bersabda :
“man ‘amila bimaa ‘alima waratshullahu ‘ilma maa lam ya’lam”
Artinya : Nabi SAW bersabda :” BARANGSIAPA YANG MENGAMALKAN ILMU YANG IA KETAHUI MAKA ALLAH AKAN MEMBERIKAN KEPADANYA ILMU YANG BELUM IA KETAHUI”.

3. TIDAK MENCINTAI DUNIA
‘alammah suyuti rah. berkata :“kamu menganggap bahwa ilmu mauhub adalah diluar kemampuan manusia. Namun hakikatnya bukanlah demikian, bahkan cara untuk menghasilkan ilmu ini adalah dengan beberapa asbab. Melalui ini Allah swt. telah menjanjikan ilmu tersebut. Asbab-asbab itu adalah seperti : beramal dengan ilmu yang diketahui, tidak mencintai dunia dan lain-lain….”
Sebagaimana dalam sebuah hadits, bahwa Nabi SAW bersabda yang artinya : “Barang siapa yang zuhud pada dunia (tidak cinta dunia), maka akan Allah berikan kepadanya ilmu tanpa Belajar” (Fadhilatushaqat).

4. BERDOA
Semua itu datang bagi Allah, maka Rasulullah mencontohkan kepada kita agar senantiasa berdoa agar diberikan ilmu dan hidayah dari Allah swt.
Untuk menumbuhkan rasa takut pada Allah dengan dzikir
Untuk menumbuhkan zuhud pada Allah dengan mujahadah
Sedangkan Doa akan diterima jika kita ikhlash…..
Untuk itu kita harus belajar dan dibimbing oleh guru-guru yang mursyid.

5. BERDAKWAH
Jika kita berdakwah (amr bil ma’ruf wa nahya ‘anil munkar) atau mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran maka Allah akan berikan kepada kita ‘ilm wa hilm (’ilmu dan kelembutan hati) langsung dari qudrat Allah swt.
Sebagaimana dalam hadits qudsi(kurang lebih maknanya) tatkala Allah menceritakan keutamaan umat akhir zaman kepada Nabi isa as., mereka memakai sarung pada perut-perut mereka, jika mereka berjalan di tanah rata mereka berdzikir “alhamdulillah”, ditanah yang menanjak mereka berdzikir “allhuakbar” ,jika berjalan ditanah yang menurun mereka berdzikir “subhanallah” dan mereka mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (berdakwah) , sedangkan mereka bodoh (tidak punya banyak ilmu) dan kasar (tidak hilm)
maka Nabi isa as. bertanya : “Bagaimana mereka akan berdakwah padahal mereka tidak punya ‘ilm dan hilm(kelembutan hati)?
Maka Allah firmankan :”Aku sendiri yang akan memberikan kepada mereka ilm dan hilm” (Muntakhob ahadits)
ilmu laduniadalah karunia khusus/khas bagi hambanya, terlebih bagi mereka yang telah ma’rifat. Orang yang telah ma’rifat akan mendapatkan segala-galanya karena tidak ada keinginan dunia dalam hatinya.
Nabi SAW bersabda : “man wajadallah wajada kulla syai, man faqadallah faqada kulla syai”
artinya : Barang siapa kenal kepada Allah maka ia akan mendapatkan segala-galanya
Barang siapa yang kehilangan Allah (tidak kenal Allah) maka ia kehilangan segala-galanya.”
( Kumpulan Khutbah jum’at romo kyai).
Dalam kitab kimiyai saadat, bahwa ada tiga jenis manusia yang tiadak akan bisa memahami alqur’an :
- Pertama : Seorang yang tidak memahami bahasa arab
-Kedua : Orang yang berkekalan dengan dosa-dosa besar dan bid’ah. Ini karena dosa dan amalan bid’ah itu akan menghitamkan hatinya yg menyebabkan dia tidak mampu memahami alqur’an.
_ketiga : Orang yang yakin hanya terhadap makna-makna dhahir saja dalam hal-hal aqidah (mengambil makna dhohir dari ayat/hadits mutasyabihat, aqidahnya bermasalah: mu’tazillah, mujasimmah dsb). Perasaanya tidak dapat menerima apabila dia membaca ayat alqu’an yang bertentangan dengan keyakinannya itu. Orang yang demikian tidak akan bisa memahami alqur’an.
“Ya Allah Peliharalah kami daripada mereka!”
Ilmu Laduni yang dalam penjelasan tentang Risalah Al Laduniyahnya menjadi rujukan kitab-kitab yang membahas ilmu Ladunni) cukup berbobot, dengan alur bahasa yang sederhana dan tidak membuat kita mengernyitkan dahi, padahal isi bukunya cukup berat untuk dipahami.

ilmu laduni adalah Ilmu Laddunniyah Robbaniyah, yaitu ilmu pemberian atau warisan langsung dari kehendak dan urusan Allah SWT. Bagaimana bentuk ilmu ini dijelaskan secara kongkrit ? Ujud ilmu Ladunni ini berupa ilham spontan yang memancar dari lubuk hati kemudian terpancarkan melalui akal dan fikir. Apa yang dijelaskan cukup kongkrit dan logis dengan alasan-alasan yang diterima oleh akal, ilmu ladunni bukan melulu ilmu supranatural seperti yang biasa digembor-gemborkan para ahli Supranatural (baca: dukun) dalam memasarkan produk jualannya, melainkan juga penemuan-penemuan ilmiah yang dinamis dan aplikatif. Ilmu yang dijelaskan ini menarik untuk dijadikan referensi dan bisa dijadikan rujukan untuk lebih menuju ‘know-how’ bagaimana diaplikasikan di lapangan, bahkan bisa juga ini sebagai acuan untuk mengkolaborasi pengaktifan otak sebelah kanan (subconsiuss) diaplikasikan dengan Neuro Linguistic Programming, sehingga bisa diakses oleh orang dan dipraktekan di dunia usaha yang mereka geluti dalam kesehariannya.

Perpaduan kumulatif dari ayat-ayat yang tersurat(makna muhakamat) dengan ayat-ayat tersirat (makna mustasyabihat) tersirat dalam nuansa dzikir dan pikir, akan melahirkan ilmu intuitif, yang datangnya dari bisikan-bisikan kalbu atau ilham langsung dan spontan, tanpa melalui perantaraan melihat, maupun mendengarkan yang biasa digunakan dalam otak sadar (otak kiri), karena di dalam hati yang bersih, Allah mendatangkan hidayahnya, sebagai buah dari ibadah yang dijalani oleh hambanya.

Banyak hal yang menarik tak bisa diungkapkan karena rahasia hijab yang menutupi tirai pintu hati dan tujuh pembukanya.Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ilmu ini merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir ‘Alayhis-salam. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu.
Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri.
Al Ghazali rohimahullahu ta’ala dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “.
Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)
Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)
Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kiamat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)
Pencetus Wihdatul Wujud (Ibnu Arabi) ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia berkata – maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.
Ilmu Laduni (Ibn Taimiyah) sebagai masukan Pro dan Kontra tentang Ilmu Laduni.

Ilmu Laduni, Antara Hakikat dan Khurafat

Manusia dilahirkan di bumi ini dalam keadaan bodoh, tidak mengerti apa-apa. Lalu Allah mengajarkan kepadanya berbagai macam nama dan pengetahuan agar ia bersyukur dan mengabdikan dirinya kepada Allah dengan penuh kesadaran dan pengertian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An-Nahl: 78)

Pada hakikatnya, semua ilmu makhluk adalah “Ilmu Laduni” artinya ilmu yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para malaikat-Nya pun berkata:

“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (Al-Baqarah: 32)

Ilmu laduni dalam pengertian umum ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, ilmu yang didapat tanpa belajar (wahbiy). Kedua, ilmu yang didapat karena belajar (kasbiy).

Bagian pertama (didapat tanpa belajar) terbagi menjadi dua macam:

1. Ilmu Syar’iat, yaitu ilmu tentang perintah dan larangan Allah yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu tasyri’), baik yang langsung dari Allah maupun yang menggunakan perantaraan malaikat Jibril. Jadi semua wahyu yang diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam alaihissalam hingga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ilmu laduni termasuk yang diterima oleh Nabi Musa dari Nabi Khidlir . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Khidhir:

“Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)

Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidlir alaihissalam berkata kepada Nabi Musa alaihissalam:

“Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.”

Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap mukallaf (baligh dan mukallaf) sampai datang ajal kematiannya.

2. Ilmu Ma’rifat (hakikat), yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan kasyf (wahyu ilham/terbukanya tabir ghaib) atau ru’ya (mimpi) yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya yang mukmin dan shalih. Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau diamalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah termaktub di dalam mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits. Menyalahi di sini bisa berbentuk menentang, menambah atau mengurangi.

Bagian Kedua

Adapun bagian kedua yaitu ilmu Allah yang diberikan kepada semua makhluk-Nya melalui jalan kasb (usaha) seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, berfikir dan lain sebagainya.

Dari ketiga ilmu ini (syari’at, ma’rifat dan kasb) yang paling utama adalah ilmu yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu syari’at, karena ia adalah guru. Ilmu kasyf dan ilmu kasb tidak dianggap apabila menyalahi syari’at. Inilah hakikat pengertian ilmu laduni di dalam Islam.

Khurafat Shufi

Istilah “ilmu laduni” secara khusus tadi telah terkontaminasi (tercemari) oleh virus khurafat shufiyyah. Sekelompok shufi mengatakan bahwa:

“Ilmu laduni” atau kasyf adalah ilmu yang khusus diberikan oleh Allah kepada para wali shufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih ahli hadits(sunnah), tidak bisa mendapatkannya.
“Ilmu laduni” atau ilmu hakikat lebih utama daripada ilmu wahyu (syari’at). Mereka mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi Khidlir alaihissalam dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa alaihissalam adalah ilmu wahyu sedangkan ilmu Nabi Khidhir alaihissalam adalah ilmu kasyf (hakikat). Sampai-sampai Abu Yazid Al-Busthami (261 H.) mengatakan: “Seorang yang alim itu bukanlah orang yang menghapal dari kitab, maka jika ia lupa apa yang ia hapal ia menjadi bodoh, akan tetapi seorang alim adalah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya di waktu kapan saja ia suka tanpa hapalan dan tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”
Ilmu syari’at (Al-Qur’an dan As-Sunnah) itu merupakan hijab (penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan ilmu laduni saja sudah cukup, tidak perlu lagi kepada ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak kitab dengan metode kasyf, langsung didikte dan diajari langsung oleh Allah, yang wajib diyakini kebenarannya. Seperti Abd. Karim Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insanul Kamil fi Ma’rifatil Awakhir wal Awail. Dan Ibnu Arabi (638 H) menulis kitab Al-Futuhatul Makkiyyah.
Untuk menafsiri ayat atau untuk mengatakan derajat hadits tidak perlu melalui metode isnad (riwayat), namun cukup dengan kasyf sehingga terkenal ungkapan di kalangan mereka
“Hatiku memberitahu aku dari Tuhanku.” Atau
“Aku diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya sendiri, langsung tanpa perantara apapun.”
Sehingga akibatnya banyak hadits palsu menurut ahli hadits, dishahihkan oleh ahli kasyf (tasawwuf) atau sebaliknya. Dari sini kita bisa mengetahui mengapa ahli hadits (sunnah) tidak pernah bertemu dengan ahli kasyf (tasawwuf).

Bantahan Singkat Terhadap Kesesatan di atas

Kasyf atau ilham tidak hanya milik ahli tasawwuf. Setiap orang mukmin yang shalih berpotensi untuk dimulyakan oleh Allah dengan ilham. Abu Bakar radhiallahu anhu diilhami oleh Allah bahwa anak yang sedang dikandung oleh isterinya (sebelum beliau wafat) adalah wanita. Dan ternyata ilham beliau (menurut sebuah riwayat berdasarkan mimpi) menjadi kenyataan. Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa ilham atau ilmu Ilahi itu termasuk sebagian balasan amal shalih yang diberikan Allah di dunia ini. Jadi tidak ada dalil pengkhususan dengan kelompok tertentu, bahkan dalilnya bersifat umum, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam:
“Barangsiapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui.” (Al-Iraqy berkata: HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Anas radhiallahu anhu, hadits dhaif).

Yang benar menurut Ahlusunnah wal Jama’ah adalah Nabi Khidhir alaihissalam memiliki syari’at tersendiri sebagaimana Nabi Musa alaihissalam. Bahkan Ahlussunnah sepakat kalau Nabi Musa alaihissalam lebih utama daripada Nabi Khidhir alaihissalam karena Nabi Musa alaihissalam termasuk Ulul ‘Azmi (lima Nabi yang memiliki keteguhan hati dan kesabaran yang tinggi, yaitu Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad).

Adapun pernyataan Abu Yazid, maka itu adalah suatu kesalahan yang nyata karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam hanya mewariskan ilmu syari’at (ilmu wahyu), Al-Qur’an dan As-Sunnah. Nabi mengatakan bahwa para ulama yang memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itulah pewarisnya, sedangkan anggapan ada orang selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam yang mengambil ilmu langsung dari Allah kapan saja ia suka, maka ini adalah khurafat sufiyyah.

Anggapan bahwa ilmu syari’at itu hijab adalah sebuah kekufuran, sebuah tipu daya syetan untuk merusak Islam. Karena itu, tasawwuf adalah gudangnya kegelapan dan kesesatan. Sungguh sebuah sukses besar bagi iblis dalam memalingkan mereka dari cahaya Islam.

Anggapan bahwa dengan “ilmu laduni” sudah cukup adalah kebodohan dan kekufuran. Seluruh ulama Ahlussunnah termasuk Syekh Abdul Qodir Al-Jailani mengatakan: “Setiap hakikat yang tidak disaksikan (disahkan) oleh syari’at adalah zindiq (sesat).”

Inilah penyebab lain bagi kesesatan tasawwuf. Banyak sekali kesyirikan dan kebid’ahan dalam tasawwuf yang didasarkan kepada hadits-hadits palsu. Dan ini pula yang menyebabkan orang-orang sufi dengan mudah dapat mendatangkan dalil dalam setiap masalah karena mereka menggunakan metode tafsir bathin dan metode kasyf dalam menilai hadits, dua metode bid’ah yang menyesatkan.
Tiada kebenaran kecuali apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda:

“Wahai manusia belajarlah, sesungguhnya ilmu itu hanya dengan belajar dan fiqh (faham agama) itu hanya dengan bertafaqquh (belajar ilmu agama/ilmu fiqh). Dan barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia akan difaqihkan (difahamkan) dalam agama ini.” (HR. Ibnu Abi Ashim, Thabrani, Al-Bazzar dan Abu Nu’aim, hadits hasan). (Abu Hamzah As-Sanuwi).
Maraji’:
Al-Fathur Rabbaniy, Abdul Qadir Al-Jailani (hal. 159, 143, 232).
Al-Fatawa Al-Haditsiyah, Al-Haitamiy (hal. 128, 285, 311).
Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali (jilid 3/22-23) dan (jilid 1/71).
At-Tasawwuf, Muhammad Fihr Shaqfah (hal. 26, 125, 186, 227).
Fathul Bariy, Ibnu Hajar Al-Asqalaniy (I/141, 167).
Fiqhut Tasawwuf, Ibnu Taimiah (218).
Mawaqif Ahlusunnah, Utsman Ali Hasan (60, 76).
Al-Hawi, Suyuthiy (2/197).

Menurut Ibn Al Arabi, dalam mengantarkan manusia untuk mengenal dirinya, untuk membawanya kepada proses kesempurnaan diri, ada beberapa tahap agar memudahkan kita (mahluk) untuk menuju Sang Kholiq, diantaranya :
1. Ta’alluq (menggantungkan hati dan pikiran hanya untuk Allah). Dalam istilah lain dikenal dengan Dzikrullah (dzikir kepada Allah). Dengan berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah, dimanapun berada. Sesuai dengan firman-Nya, yang artinya : Yakni orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata :”Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
2. Takhalluq. Takhalluq merupakan suatu upaya proses penyempurnaan diri melalui pengejawantahan sifat-sifat Tuhan yang Maha Mulia untuk dapat ditiru dalam sifat-sifat seorang mukmin. Sehingga ia memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-sifat Tuhan. Proses ini bisa juga disebut proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Seperti halnya banyak diantara kalangan sufi yang dalam hal ini menyandarkan hadits nabi yang berbunyi “Takhallaq bi akhlaq-I Allah” yang artinya berakhlaklah seperti akhlak Tuhan, atau “Takhalaq bi asma Allah” artinya berakhlak dengan nama-nama Allah.
3. Tahaqquq (Aktualisasi Sikap). Tahaqquq adalah merupakan suatu proses untuk mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai mukmin, sebagaimana tercermin dalam proses takhaluq – untuk kemudian mengaplikasikannya dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Ia merupakan proses terakhir dari proses pengejawantahan proses takhalluq untuk menuju manusia yang sempurna. Sebuah gambaran singkat menuju proses penyempurnaan diri manusia, yang berangkat dari pengenalan arti dan hakikat manusia itu sendiri, untuk kemudian sampai kepada Tuhannya.
Demikian ringkasan buku “Mengintip Alam barzakh, Ilmu Ladunni, buah ibadah dan tawassul” ditambahkan masukan pro dan kontra Ilmu Laduni untuk melengkapi pembahasannya.

INTI AMALAN ILMU LADUNI
program pembersihan diri dulu agar energi mengalir dengan lancar....

wirid al wahhaab (multi laduni) sebanyak 361 kali

disusul dengan tasbih

“subhanal wahhabil quddusi la ilaha illa huwal fa”alu lima yuriduhu“,beberapa kali,,

(sambil berpuasa selama 40 hari)

atau cukup sekali dengan beriktikaf dan wirid al wahhab

laduni bahasa asing) atau ar rosyid (laduni iptek), atau ar rohmaan(laduni umum) atau al khobiir (laduni alam ghaib) atau al qowiyyu (laduni beladiri) atau al ‘aliim (laduni agama) atau al mujiib (laduni terapi) atau al majiid (laduni bisnis) atau al maliik (laduni membaca alam) dsb mencapai 7.000-10.000 kali,, suci lahir bathin, taubat nasuha/meninggalkan semua larangan Alloh, disusul dengan puasa selama 3 hari atau 7 hari,,boleh juga dengan mutih,, hati dan pikiran fokus memohon anugrah/karunia laduni kepada Alloh semata ,,sebagai tambahan perbanyak juga wirid doa berikut :

“bi ismika ya wahhaabu habliya ‘izzatan, bi jaahi jalalil ‘izzi minka taqoronat, wa hudzli ‘uqulal ‘alamina bi asrihim, wa abhattahum bil ismi sihron fa abhatat,,:

(dengan nama mu wahai dzat yang maha memberi, berilah saya kehormatan, dengan pangkat dari mu dan kemulyaan dzat yang mulya ambillah untuk saya akal orang2 sedunia bersama anggota mereka dan jadikan mereka bingung dengan asma mu sehingga mengacaukan sihir,” (laduni multi fungsi) sebanyak banyaknya,,

tiap hari sampai 40 hari atau ditambah dengan wirid an nuurul badi’ (multi fungsi/pembangkit potensi diri yang terpendam/bawah sadar) seikhlasnya misalnya 260 kali tiap habis sholat fardhu atau di malam hari, atau dengan wirid2 berikut ini al mubdi-u, al baqii, al muhyii, al baa’its, ar rofi’, al kholiq, al muqoddim (multi fungsi/pembangkit potensi diri yang terpendam/bawah sadar dan multi talenta),, Juga “wa subba ‘ala qolbii sa-abiiba rohmatim, bi hikmati maulanal hakiimi fa ahkamat,”(al hikmah/kebijaksanaan) Atau “wa subba ‘ala qolbii sa-abiiba rohmatim, bi hikmati maulanal ‘adhiimi fa anthoqot,” (membaca isi hati dan kasyaf), 47 kali,, tiap hari,,

Nb : jumlah2 wirid ini tidak mutlak tapi yang penting istiqomahnya/ketekunannya,ini hanyalah wasilah, jangan dijadikan kewajiban, yang penting tugas2 utama anda yaitu belajar dan /mengerjakan pr harus diutamakan,,berpikir, menggali diri, membaca/belajar dari/dengan alam dan orang2 lain...
Ilmu Laduni adalah Ilmu Warisan (part 1)
Ilmu laduni adalah ilmu warisan. Seseorang tidak mungkin mendapatkan ilmu laduni kecuali dengan sebab mendapat warisan dari orang lain, padahal yang dimaksud warisan adalah tinggalan orang mati. Oleh karenanya, satu-satunya jalan untuk mendapatkan Ilmu Laduni adalah melaksanakan tawasul secara ruhaniyah kepada para Guru Mursyid baik yang hidup maupun yang mati. Hal tersebut dilakukan oleh seorang salik untuk membangun sebab-sebab yang dapat menyampaikan kepada akibat yang baik, yakni mendapatkan ilmu laduni.
Tentang ilmu warisan ini telah dinyatakan Allah SWT dengan firman-Nya:
وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ هُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ (31) ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya * Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menyiksa diri sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang berlomba-lomba berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar “. QS.Fathir.35/31-32.
Ilmu warisan ini termaktub di dalam firman-Nya: “Tsumma aurotsnal kitaaba”. Yang artinya ; Kemudian Kami wariskan kitab itu. Ayat ini jelas menunjukkan bahwa ada suatu jenis ilmu yang tidak diturunkan kepada seseorang kecuali dengan mendapatkan warisan dari orang yang telah terlebih dahulu mendapatkannya. Untuk lebih memudahkan pemahaman—insya Allah—marilah kita ikuti penafsiran dua ayat tersebut secara keseluruhan:
Dari ayat diatas akan kita uraikan menjadi beberapa pembahasan :
1). Tentang ilmu Al-Qur’an.
Yang dimaksud dengan al-Kitab (Al-Qur’an) {“wal ladzii auhainaa ilaika minal kitaab” (dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu al-Kitab)} di dalam ayat di atas adalah ilmu pengetahuan yang dikandung di dalam Al-Qur’an al-Karim.
Al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad ra. dalam bukunya, “Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, berkata:
أنَّ الْقُرْآَنَ الْعَظِيْمَ كَلاَمُ اللهِ الْقَدِيْمِ وَكِتَابُهُ الْمُنَزَّلُ عَلى نَبِيِّهِ وَرَسُوْلِهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِى الْكَلاَمَ النَّفْسِىَّ الْقَدِيْمَ وَالنَّظْمَ الْمَقْرُوْءَ الْمَسْمُوْعَ الْمَحْفُوْظَ الْمَكْتُوْبَ بَيْنَ دَفْتَرِ الْمُصْحَفِ
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah Kalam Allah yang qodim dan Kitab-Nya yang diturunkan kepada Nabi-Nya dan Rasul-Nya saw. yaitu ucapan didalam hati yang qodim dan susunan kata-kata yang dapat dibaca, dapat didengar dan terjaga didalam kitab antara catatan-catatan didalam buku”.
Dengan dikaitkan pendapat al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad ra. tersebut, maka Al-Qur’an al-Karim dibagi menjadi dua bagian:
1). Al-Qur’an sebagai Kalamullah yang qodim, sebagaimana firman Allah SWT:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami”.
2). Al-Qur’an sebagai Kitab yang hadits, yaitu tulisan dengan bahasa Arab yang tertulis di dalam mushab, sebagaimana firman Allah SWT :
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (19) ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar ucapan utusan yang mulia (Jibril) yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Yang mempunyai Arsy”.QS. at-Takwir/19-20
Maka yang dimaksud dengan al-Kitab— dalam ayat di atas—yang akan diwariskan kepada hamba-hamba dipilih, bukanlah Al-Qur’an yang hadits, melainkan Al-Qur’an yang qodim. Yakni berupa pemahaman hati dari ma’na yang dikandung Al-Qur’an yang hadits. Oleh karenanya, tidak mungkin seseorang dapat memahami al-Qur’an yang Qodim tanpa terlebih dahulu memahami makna al-Qur’an yang hadis.
Jadi, yang dimaksud ilmu warisan adalah pemahaman hati yang bentuknya tidak berupa tulisan yang dapat dilihat mata maupun suara yang dapat didengar telinga, melainkan rasa di dalam hati sebagai buah mujahadah atas dasar takwallah. Pemahaman hati tersebut bisa disebut sebagai ilmu laduni, manakala sumbernya terbit dari ilham secara langsung didalam hati yang datangnya dari urusan ketuhanan, bukan inspirasi hayali yang terkadang bisa jadi terbit dari bisikan Jin. (bersambung)
Al-Imam as-Suyuti ra. berkata:
Banyak orang mengira, bahwa “Ilmu Laduni” itu sangat sulit didapat. Mereka berkata bahwa Ilmu Laduni itu berada diluar jangkauan manusia, padahal tidaklah demikian. Untuk mendapatkan Ilmu Laduni ini hanya dengan jalan membangun sebab-sebab yang dapat menghasilkan akibat. Adapun sebab-sebab itu adalah amal dan zuhud. Kemudian beliau meneruskan: Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan apa saja yang memancar darinya adalah sangat luas, bagaikan samudera
yang tidak bertepi, dan Ilmu Laduni merupakan alat yang mutlak bagi seseorang untuk menafsirkan ayat-ayatnya.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah mengajarmu”. QS.al-Baqoroh/282. Itulah Ilmu Laduni, Allah mengajarkan ilmu itu kepada hamba-hamba yang terpilih dengan cara membisikkan pemahaman melalui kalbunya, yaitu hati seorang hamba yang sudah bersih dari segala kotoran karakter duniawi yang tidak terpuji, sebagai buah ibadah yang dijalani. Adalah ilmu pengetahuan yang universal dan “rahmatan lil alamiin” yang akan mampu menghantarkan manusia kepada keberhasilan hidup, baik dunia, agama maupun akhirat. Ilmu tersebut dihasilkan dari perpaduan antara ilmu, iman dan amal yang dapat menghasilkan ilmu lagi.
Ketika seseorang sedang kasmaran dengan kekasihnya misalnya, dari refleksi klimaks keasyikan yang terjadi, kerapkali memunculkan pengertian dan pemahaman yang tidak terduga. Pemahaman itu bentuk wujudnya ternyata pengalaman-pengalaman hidup yang sangat berkesan, luas, unik, serta sukar dilupakan. Yang demikian itu apabila diteliti dengan cermat dan mendalam, secara mendetail dan terperinci, apalagi ketika pengalaman-pengalaman itu kadang-kadang ternyata berupa teori-teori tentang cinta—bahkan cinta seorang hamba kepada Tuhannya, padahal dia belum pernah sama sekali belajar tentang ilmu cinta, baik dengan membaca maupun mendengar. Dari manakah gerangan datangnya ilmu itu? Itulah yang dikatakan ilmu laduni, manakala ilmu itu menyangkut pemahaman hati tentang urusan ketuhanan.
Bahkan jauh lebih dalam dari itu. Dalam rangka mencari hakikat makna cinta, terkadang refleksi kerinduan yang terpendam akan sang kekasih, oleh sang perindu dijadikannya sebagai tambang inspirasi dan sumber ilham. Alam kerinduan itu dimasuki dan ditelusuri dalam bentuk pencarian-pencarian secara ruhaniah. Maka yang asalnya tidak mengerti menjadi mengerti dan yang asalnya tidak faham menjadi memahami.
Itulah api cinta ketika bergelora
Dari tambang pengembaraan ruhaniah
Ketika api itu larut bersama sinarnya
Membakar sekat dan hijab
Menembus dinding akal dan fikir
Membuka situs-situs Lauh mahfud
Maka, ruh membaca dan akal menyimpan data
Ketika kerinduan telah mereda
Dan buramnya pandangan mata telah sirna
Maka data-data yang ada di situs itu
Ternyata tempatnya telah berpindah
Oleh karena hanya Allah yang menghendaki
Maka pindahnya data itu disebut Laduniah Rabbaniyah.

Ilmu Laduni adalah Ilmu Warisan (part 2)
Dengan pemahaman hati tersebut, seorang hamba dapat memahami secara langsung makna yang dikandung didalam ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang dibaca maupun didengar. Berupa pemahaman yang amat luas dan universal sehingga kadang-kadang tidak mampu diuraikan baik melalui ucapan maupun tulisan. Pemahaman akan ma’na ayat yang didalamnya sedikitpun tidak dicampuri keraguan sehingga dapat menjadikan iman dan takwa seorang hamba kepada Allah Ta’ala menjadi semakin kuat.
Dalam menafsiri firman Allah SWT.:
إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara.Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” . QS. al-Waqi’ah.56/77-79.
Ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan Al-Muthohharuun (Orang-orang yang disucikan).
a). Dari Ibnu Abbas ra. yang dimaksud al-Kitab adalah kitab yang ada di langit, tidak ada yang menyentuhnya kecuali para malaikat yang disucikan. Seperti itu pula pendapat Anas, Mujahid, Ikrimah Said bin Jabir. Rodhiallahu ‘Anhum.
b). Yang dimaksud Al-Qur’an disini adalah mushhab, maka tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci dari junub dan hadats. Dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
وَلاَ يَمُسُّ الْقُرْآَنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
“Dan tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”.
*Tafsir Ibnu Katsir ayat 79 surat al-Waqi’ah*
c). Tidak dapat menyentuh terhadap pemahaman-pemahaman Al-Qur’an yang qodim (rahasia ilmu laduni) kecuali orang-orang yang hatinya bersih dan suci dari kotoran-kotoran manusiawi. Allah SWT. mengisyaratkan hal tersebut dengan firmannya :
وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا (45) وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آَذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآَنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُورًا
“Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, yaitu dinding yang tertutup * Dan Kami adakan tutupan diatas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya”. QS.al-Isra’.17/45-46.
Dari ayat diatas jelas menunjukkan bahwa orang yang mambaca atau mendengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an belum tentu memahami isinya, karena yang dibaca tersebut adalah Al-Qur’an hadits. Terhadap al-Qur’an yang hadits ini siapa saja dapat menyentuhnya. Adapun yang dipahami adalah Al-Qur’an yang qodim atau rahasia-rahasia dari ilmu laduni, terhadap al-Qur’an yang qodim ini tidak semua orang dapat menyentuhnya kecuali orang yang beriman dengan kehidupan akhirat. Sebab, yang dimaksud dengan membaca atau mempelajari adalah amalan lahir, sedangkan memahami adalah amalan bathin. Yang dibaca adalah yang lahir sedangkan yang dipahami adalah yang bathin. Maka tidak dapat menyentuh yang bathin kecuali dengan alat yang bathin pula, yaitu matahati yang cemerlang.
2). Bukti kebenaran Al-Qur’an.
Salah satu tanda-tanda kebenaran Al-Qur’an ialah bahwa isinya membenarkan isi kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Yang demikian itu menunjukkan bahwa kitab-kitab samawi tersebut adalah sama-sama wahyu dari Allah Ta’ala.
3). Ilmu yang diwariskan.
Lafad “Kami wariskan”, artinya pemahaman hati tersebut diturunkan kepada orang yang menerima dengan tanpa usaha. Diturunkan semata-mata dari kehendak Allah Ta’ala, meski itu merupakan buah ibadah yang dijalani oleh seorang hamba. Oleh karena ilmu tersebut diturunkan sebagai warisan, maka tentunya yang menerima warisan itu harus mengetahui dengan pasti siapa yang mewariskan ilmu tersebut kapada dirinya. Dengan asumsi seperti itu, maka pemahaman ini hanya dapat dihasilkan dari rahasia pelaksanaan tawasul secara ruhaniyah kepada orang yang ditawasuli. Maksudnya, rahasia sumber ilmu laduni itu hanya dapat terbuka dari sebab pelaksanaan tawasul kepada orang-orang yang telah terlebih dahulu mendapatkan warisan ilmu laduni dari para pendahulunya. Jadi, ilmu laduni itu adalah ilmu yang ada keterkaitan dengan ilmu para guru mursyid sebelumnya, guru-guru Mursyid tersebut sebagai pewaris sah secara berkesinambungan sampai kepada Maha Guru yang agung yaitu Baginda Nabi Muhammad Rasulullah saw.
Ayat diatas menjadi bukti bahwa ilmu laduni yang dimaksud bukanlah sesuatu yang didapatkan dari hasil bertapa didalam gua-gua di tengah hutan atau di kuburan angker—yang kemudian orang itu mendapatkan “linuwih” atau kelebihan-kelebihan dan kesaktian—yang datangnya tidak dikenali dari mana sumber pangkalnya. Ilmu laduni adalah ilmu yang diturunkan Allah Ta’ala didalam hati seorang hamba yang dipilihNya melalui proses tarbiyah azaliah, sebagai buah ibadah yang dijalani.
Kalau ada kelebihan atau kesaktian yang didapatkan orang dari hasil berburu dengan mujahadah dan bertapa di hutan-hutan, meski orang tersebut kemudian dapat berjalan cepat seperti mukjizatnya Nabi Sulaiman as. misalnya, kelebihan seperti itu bisa jadi merupakan kelebihan yang datangnya dari fasilitas makhluk Jin. Kelebihan seperti itu terkadang hanya sebagai istidroj (kemanjaan sementara) belaka, yang kemudian sedikit demi sedikit akan dicabut lagi bersama kehancuran pemilikinya. Terlebih lagi apabila kelebihan-kelebihan itu dibarengi dengan sifat sombong dan takabbur, sehingga cenderung hanya dijadikan alat untuk unjuk kesaktian yang dipamerkan kepada orang banyak, jika demikian keadaannya, maka itu dapat dipastikan bahwa kesaktian tersebut hanyalah istidroj belaka.
Sejak ilmu laduni itu memancar di hati seorang hamba, maka segera saja hamparan hati itu menjadi bagaikan sungai yang bermata airnya, meski sedang datang musim kemarau panjang, sedikitpun airnya tidak pernah berkurang. Atau seperti pelita di dalam kaca kristal yang sumbunya berminyak; “yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api” QS.an-Nur/24. Pelita itu akan memancarkan sinarnya setiap saat, meski sumbunya tidak pernah lagi dibasahi minyak. Hal tersebut bisa terjadi, karena rahmat Allah lebih dahulu dipancarkan sebelum pemahaman itu diturunkan, sehingga hamparan dada itu menjadi tambang ilmu yang tidak pernah berhenti memancar, meskipun disaat kesempatan untuk membaca dan mendengarkan sudah tidak dapat kembali terulang.Bahkan terkadang ilmu laduni yang muncul itu sedikitpun belum pernah tertulis dalam buku dan kitab yang ada. Berupa ilmu pengetahuan dan pemahaman yang aktual dan akplikatif. Hasil perpaduan ayat yang tersurat dengan ayat yang tersirat yang mampu menjadi solusi persoalan yang sedang aktual. Sebab, ketika kitab-kitab yang sudah ada itu sedang ditulis pada zamannya, keadaan yang sedang terjadi itu memang belum pernah dimunculkan oleh zaman. Seperti itulah contohnya, maka Al-Qur’an al-Karim diturunkan kepada Baginda Nabi saw. dengan cara berangsur-angsur.
Wahyu Allah itu diturunkan ayat demi ayat dengan mengikuti proses perkembangan keadaan dan zaman, sehingga mampu menjadi solusi dari setiap timbulnya tantangan dan kesulitan. Sungguh sangat beruntung orang-orang yang berusaha bersungguh-sungguh mendapatkannya, meski kemudian sampai mati dia belum juga pernah berhasil mencicipi kenikmatannya, namun yang pasti minimal pernah mencium bauhnya.
MENCARI ILMU LADUNI (part 3)
Dalam rangka mengenali rahasia ilmu laduni, di ayat lain Allah SWT. menyatakan sifatnya dengan lebih detail. Allah berfirman :
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19) كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ (20) وَتَذَرُونَ الْآَخِرَةَ
“Jangan kamu menggerakkan dengan Al-Qur’an kepada lidahmu untuk mempercepat dengannya * Sungguh atas tanggungan Kami penyampaian secara globalnya dan pembacaannya * Maka apabila Kami telah membacakannya maka ikutilah bacaannya * Kemudian sungguh atas tanggungan Kami pula penyampaian secara perinciannya * Sekali-kali janganlah demikian, sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai dunia * Dan meninggalkan kehidupan akhirat”. QS. al-Qiyamah.75/ 16-21.
Juga diriwayatkan dari Sa’id bin Jabir, dari Ibnu ‘Abbas ra. berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم . إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ القُرْآنَ يُحَرِّكُ بِهِ لِسَانُه ُيُرِيْدُ أَنْ يَحْفَظَهُ ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَبَاَرَكَ وَتَعَالَى : ” لَاتُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ “.رواه الترمذى
Adalah Rasulullah saw. ketika ِAllah menurunkan Al-Qur’an kepadanya, beliau menggerakkan lesannya untuk menghafalkannya, maka Allah menurunkan ayat: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur’an hendak cepat-cepat menguasainya”. HR Tirmidzi.
Melalui ayat diatas (QS.al-Qiyamah.75/16-21) kita dapat mengambil beberapa pelajaran :
1). Dalam rangka mempelajari dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an, orang dilarang menggerakkan lesannya untuk mengikuti bacaan yang didengar, karena ingin cepat memaham dan menghafalkan ayat yang didengar itu. Bagi seorang murid tidak boleh “mbarengi” bacaan gurunya, tetapi harus membaca dibelakang bacaan gurunya.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas ra.: “Bahwa Rasulullah saw. saat malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepadanya, setelah ayat ini diturunkan, beliau diam dan mendengarkan dan apabila Jibril pergi beliau baru membacanya”. HR. Bukhori. * Tafsir Fahrur Rozi.15/225 *
Ditegaskan pula di dalam firman-Nya yang lain:
وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآَنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Janganlah kamu tergesa-gesa dengan Al-Qur’an sebelum selesai mewahyukannya kepadamu. Dan katakanlah:”Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” QS. 20/114.
Mendengar dan Diam berarti me-Non Aktifkan potensi akal dan nafsu ternyata merupakan tombol untuk meng-Aktifkan potensi hati. Sebab, selama potensi akal dan nafsu masih aktif maka potensi hati akan tertutup rapat dari sumberi inspirasi ilahiyah. Itu manakala diam tersebut dalam arti menyandarkan pertolongan dan hidayah dari Allah, karena “Allah yang menurunkan Al-Qur’an dan Allah pulalah yang akan menjaganya”. (15/9)
Allah menegaskan lagi di dalam firman-Nya :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat “. QS.al-A’raaf. 7/204.
2). Firman Allah SWT. إِنَّ عَلَيْنَا جمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ (17)”Inna ‘alainaa jam’ahuu wa qur’aanah”, (sungguh atas tanggunganku penyampaian secara global dan proses membacannya). Dikatakan: Secara globalnya di dadamu kemudian bacalah. Dan apabila dibacakan, maka ikutilah bacaannya.
Lafad “Inna ‘alainaa” mengandung arti wajib. Sebagian Ulama’ ahli tafsir mengartikan: seakan-akan Allah Ta’ala mewajibkan diri-Nya sendiri untuk melaksanakan janji-Nya. Dengan kata lain, ketika sebab-sebab telah tersusun dengan baik dan benar maka ilmu laduni akan diturunkan.
Selanjutnya, Ketika “perincian” dari yang global itu sudah waktunya dibacakan, yakni melalui proses romantika kehidupan, maka orang yang telah mendapat global itu harus mengikuti bacaan tersebut. Dalam arti menghadapi setiap tantangan dan menindaklajutinya dengan amal bakti, supaya ayat-ayat yang tersurat di dalam memori akal dapat dipadukan dengan ayat-ayat yang tersirat yang terbaca dalam realita, maka terjadilah arus pikir (tafakkur), lalu dengan hidayah dan petunjuk Allah Ta’ala seorang hamba akan menemukan mutiara hikmah di balik setiap kejadian dan fenomena.
Pengalaman ruhaniah adalah merupakan ilmu-ilmu spiritual (rasa) yang tidak hanya mampu menjadikan orang pintar tapi juga cerdas. Ilmu yang menjadikan hati seorang hamba yakin kepada yang sudah diketahui karena setiap keraguan hatinya telah mampu terusir.
Allah SWT. berjanji akan menolong hamba-Nya dengan membacakan perincian ilmu laduni itu, langsung dibisikkan di dalam hatinya, dalam bentuk teori-teori ilmiyah dan konsep-konsep tentang filosofi kehidupan, sebagai petunjuk dan bimbingan untuk menyelesaikan masalah di depan mata.
Adapun konsep-konsep tersebut berupa pemahaman hati yang tergali baik dari makna ayat Al-Qur’an al-Karim maupun hadits Rasulullah saw. Dengan yang demikian itu, maka ilmu orang yang mendapatkan ilmu laduni itu menjadi bagaikan pohon yang baik yang akarnya menunjang di tanah dan cabangnya menjulang di langit dan dengan izin Tuhannya buahnya dapat dimakan setiap saat.
3). Firman Allah SWT.:
كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ (20) وَتَذَرُونَ الْآَخِرَة
“Sekali-kali janganlah demikian, Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai yang kontan * Dan meninggalkan yang akhir “. QS. al-Qiyamah. 75/20-21.
Lafad “Al-‘Aajilata” artinya kontan/instan, yang dimaksud adalah kehidupan duniawi. Artinya, hati orang yang mencari ilmu laduni itu tidak boleh ada kecenderungan kepada kehidupan duniawi, meski dalam arti ingin mempunyai “ilmu laduni”. Mereka itu harus mampu menyandarkan segala amal ibadah semata-mata hanya mengharap ridho Ilahi Rabbi. Allahu A’lam.

Animated Pictures Myspace CommentsAnimated Pictures Myspace Comments