Makrifatullah Wali Songo



Makrifatullah sebagai pengenalan tertinggi kawulo/hamba pada gusti telah dialami oleh para wali penyebar agama Islam di Nusantara. Mereka adalah suri tauladan pencapaian pendakian spiritual bagi kita, pencari jalan Ilahi. Apa dan bagaimana makrifat dari para wali dan bagaimana wujud Tuhan yang sebenarnya?

Makrifat adalah sebuah situasi mental dan kondisi kejiwaan yang dialami oleh siapapun yang menginginkan adanya perjumpaan dengan Tuhan Semesta Alam. Salah satu momen makrifat yang paling fenomenal dalam sejarah para nabi adalah apa yang dialami Nabi Musa As saat ekstase/ fana/jatuh tersungkur di bukit Sinai saat “menatap” wajah-Nya setelah gunung yang ada di depannya hancur karena tidak sanggup ditempati pancaran cahaya-Nya.

Makrifat bisa diraih dengan perjuangan dan laku yang berat.Dalam khasanah tasawuf, kita akan diajari bagaimana laku yang berat tersebut harus dijalankan untuk menyingkirkan dan menerobos hijab menuju langit. Hijab adalah tirai selubung penutup batin kita sehingga kita tidak mampu menggapai wujud-Nya.

Hijab di dalam perbendaharaan kaum sufi bisa dikategorikan menjadi sepuluh besar. Hijab ini berasal dari empat unsur, yaitu unsur jiwa, dunia, hawa nafsu, dan setan:

Hijab ta’thil, yaitu meniadakan asma’ dan sifat Allah.

Hijab berupa kemusyrikan, yaitu manembah kepada selain Allah.

Hijab bid’ah qauliyah yang tidak ada pijakannya dalam agama).

Hijab bid’ah ‘amaliah atau perbuatan yang menyimpang dari kebenaran iman dan ikhsan

Hijab batiniyah: takabur, ujub, riya, hasad, bangga diri, sombong dan iri dengki dan lain-lain.

Hijab lahiriyah: Perbuatan Ibadah yang tidak diniatkan untuk berjumpa dengan-Nya.

Hijab dosa kecil. Melakukan perbuatan dosa-dosa kecil namun banyak.

Hijab mubah. Melakukan perbuatan mubah namun tidak dianggap sebagai sebuah dosa.

Hijab lalai dari misi penciptaan dan iradat Allah.

Hijab penempuh jalan spiritual yang bersusah-payah, tetapi namun tidak sampai tujuan.

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-bena tehijab dari (melihat) Rabb mereka. Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka”
(Al-Muthaffifin: 15-16)

Setelah semua hijab terbuka dan seseorang pejalan spiritual sudah sampai ke langit ketujuh di dalam diri sejatinya, maka seseorang akan kebingungan dan berada di alam “suwung”/ ora ono opo-opo. Semua pendamping kini telah meninggalkannya termasuk diri, malaikat dan para rasul. Dia kemudian dibimbing oleh Tuhan sendiri untuk berjumpa dengan Dzat-Nya.

Apa yang terjadi sesudah kita bermakrifatullah? Tidak ada kata yang mampu menjelaskan situasi dan kondisi fana tersebut. Namun, kita bisa mendapatkan penjelasan dari para wali saat mengalami fana tersebut. Bagaimana wujud Allah SWT?

Sunan Kalijaga: “Allah itu adalah seumpama memainkan wayang.”

Syekh Majagung: “Allah itu bukan disana atau disitu, tetapi ini.”

Syekh Maghribi: “Allah itu meliputi segala sesuatu.”

Syekh Bentong: “Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.”

Sunan Bonang: , “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak adanya.”

Sunan Kudus: “Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama.”

Sunan Giri berpendapat, “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan.”

Syekh Siti Jenar: “Allah itu adalah keadaanku. Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah”

Sunan Gunung Jati: “Allah itu adalah yang berwujud haq”
MENJADI GUSTI ALLAH

Menuju derajat “takwa” yang hakiki perlu perjuangan yang berat. Nglakoni tahap demi tahap dengan sabar, awas, eling dan waspada agar “ngelmu” kita semakin sempurna.

Adalah sebuah keharusan bila kita ingin peningkatan kualitas spiritual kita, maka kita dianjurkan untuk mengarahkan orientasi dari “luar” menuju ke “dalam”, kemudian mengarah lagi ke “luar” dan terakhir ke “dalam” lagi. Berikut keempat tahap itu:

I.

Sebagaimana perjalanan para nabi dalam sejarah, Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad SAW dan seterusnya…atau nabi Budha. Lahir, anak-anak dan beranjak remaja dia mengamati lingkungan sekitarnya. Tarafnya adalah olah indera dan raga, latihan kepekaan dan penajaman indera mata, telinga, perabaan kulit, menyerap dan menghembuskan nafas dan mulut untuk merasakan sesuatu. Berbagai pengalaman luar dirasakan oleh indera. Mata melihat bagaimana perjalanan kehidupan manusia: Lahir, remaja, dewasa, sakit, tua, mati…. Ini adalah tahap pemusatan ke luar… ke benda-benda / obyek-obyek khusus SAMANTA BHAVANA.

II.

Tahap selanjutnya, mengarahkan pemusatan perhatian atau orientasi hidup ke “dalam”. Mulailah kita merenungkan hubungan sebab akibat, kenapa ada orang hidup..kenapa ada orang mati.. kenapa manusia dihidupkan, apa hakikat hidup… Apa penyebab semua yang hidup? Bila ada Sang Pencipta, kenapa dia menciptakan kita? …. Konsentrasi diarahkan ke pergerakan akal yang diliputi oleh batin/rasa pangrasa. Akal menemukan hakikat, rasa melanjutkan dengan penghayatan. Tuhan ditemukan melalui logika, dilanjutkan dengan mengakui dan mengimani keberadaannya. Terjadi evolusi pada setiap fase.

Ruhani manusia terus bermetamorfosis; dari orientasi jasad fisik, kemudian beralih konsentrasi ke batin. Dia mengolah batinnya, kejadian demi kejadian yang dialami dalam pengalaman nyata berhasil diambil kesimpulan bahwa SEMUA YANG ADA INI ADA HIKMAHNYA. Hikmah apa? Hikmah untuk memaknai perjalanan hidup ini dengan benar, lurus dan terbukanya pintu kebenaran. Shiratal mustaqim yakni jalan yang lurus. Jalan apa? Jalan kehendak, akal, nafsu menuju iradat Gusti. Jalan yang mengarah lurus itulah yang benar. Tanda-tanda orang yang sudah mencapai tahap benar ini adalah terbuka terhadap semua pandangan yang berbeda. Mampu meresapi semua keyakinan yang dianggap benar oleh setiap orang, dan kemudian mampu mengambil sari kebenaran tersebut. Dia telah mendapatkan PANDANGAN TERANG… VIPASSANA BHAVANA.

Inilah tahap IQRA sang Muhammad SAW, atau saat nabi Budha mendapatkan Pencerahan di bawah Pohon Bodhi. Mereka ditemui Ruhul Quddus, Malaikat Jibril. Gerak batin kita padu, serasi dan selaras dengan gerak batin-Nya. Mampu membaca keinginan Tuhan dalam hidupnya setiap hari. Batin kita tidak hanya mengingat-Nya dalam setiap tarikan/hembusan nafas dan detak nadi. Namun juga batin kita berkomunikasi intensif berbicara, berbincang-bincang, berdiskusi dengan batin-Nya. Seperti orang berkasih-kasihan. Keduanya saling menakar, mempertimbangkan dan menilai masing-masing.

III.

Tahap selanjutnya perjalanan spiritual yang lebih tinggi lagi adalah meditasi ke semua titik. Mengarahkan konsentrasi indera, batin dalam perbuatan nyata. Tapa ngrame. Beramal sosial. Menyempurnakan penciptaan Tuhan. Memayu hayuning bawono untuk Memayu Hayuningrat. Pada tahap ini, semua sudah terang benderang di depan semua inderanya, di dalam batinnya. Ibadah sosial ini dilakukan tanpa pamrih apa-apa, kecuali netepi titahing Gusti. Apa saja titah gusti pada kawolo/hamba akan dilaksanakan tanpa malas. Bila tidak dilaksanakan, dia akan terkena hukuman. Pengajaran Tuhan disampaikan secara langsung tanpa utusan gaib lagi. Ini tahap saat Nabi berjuang untuk memberi kabar Tuhan, berdakwah terang-terangan ke segenap sedulur papat/semua arah penjuru bumi. Menyebarkan kasih sayang-Nya. Tuhan mewartakan apa saja, sang hamba berkewajiban melanjutkan sabda-Nya.

Dia sudah berderajat para nabi dengan pencapaian ruhani yang sangat tinggi. Namun dia sadar tetap manusia biasa yang masih punya jasad. Kesadaran bahwa kita tetap manusia harus dimiliki. Syariat agama tidak boleh ditinggalkan. Semua nabi telah mencapai derajat ketiga ini. Dia sudah ada di langit ketujuh, langit diri pribadi tertinggi…

IV.

Tahap selanjutnya meditasi adalah mengarahkan diri ke “dalam” lagi. Manusia sudah tinggal aku sejati/ruhnya saja. Ngracut, mencair dan menguap bersama Gusti. Ia sudah mukso. Menjadi cahaya bersama-Nya. Hidupnya abadi. Tidak mengenal kematian. Kematian sudah bisa ditentukan kapan dan dimana. Manusia bisa melihat apa yang akan terjadi. Rentangan kejadian yang ada di alam semesta dilihatnya dengan diam. Semua gerakan batin yang menggelora ada di kekuasaannya. Sang diri pribadi mampu membaca buku “agenda” yang dibuat bersama antara ruh kawulo dengan Gustinya lagi.

Bila selama ini dia hanya bisa meraba-raba, sekarang dia sudah dengan sangat gamblang membaca agenda tersebut. Komunikasi dengan Gusti sudah tidak ada. Kenapa? Bukankah komunikasi butuh dua kehendak yang berbeda? Sementara di tahap akhir ini, dua kehendak itu sudah menjadi satu kehendak saja. Pada tahap ini, Kawulo sudah manunggal/jumbuh dengan Gustinya. Manunggal apanya? Semuanya. Ya iradatnya, ya sifat-sifat-Nya, ya asma-Nya, ya af’Alnya/perbuatannya.

Dia adalah Sumber dari Segala Sumber Cahaya Kebenaran itu sendiri. Apapun yang diinginkannya, adalah Kun Fayakun. Dia mengalami suwung… fana…..dalam kesatuan-Nya…. inilah hakikat takwa: yaitu “benar-benar” menjadi Gusti Allah… Ini hanya dicapai oleh pribadi yang telah tersinari oleh Nur Muhammad, diri pribadi yang memancarkan nilai-nilai terpuji. Sudah tidak ada langit lagi yang harus didaki, bahkan langit dan bumi sudah manunggal dalam satu titik lagi.

Animated Pictures Myspace CommentsAnimated Pictures Myspace Comments