Pamoring Kawulo Gusti


"Sajatine Ingsun Dat kang amurba amisesa,
kang kuwasa anitahake sawiji-wiji,
dadi padha sanalika,
sampurna saka ing kodrating-Sun,
ing kono wus kanyatahan Pratandhaning apngaling-Sun,
minangka bubukaning iradating-Sun,
kang dhingin Ingsun anitahake kayu,
aran sajaratul yakin,
tumuwuh ing sajroning ngalam
ngadam-makdum ajali abadi,
nuli cahya aran Nur Muhammad,
nuli kaca aran miratul kayai,
nuli nyawa aran roh ilapi,
nuli dammar aran kandil,
nuli sosotya aran darrah,
nuli dhinding jalal aran kijab,
kang minangka warananing kalarating-Sun"
(Sesungguhnya Aku Dzat yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa,
yang berkuasa menciptakan sesuatu, terjadi dalam seketika,
sempurna lantaran kodratku, sebagai pertanda perbuatan-Ku,
merupakan kenyataan kehendak-Ku, Mula-mula Aku menciptakan
hayyu bernama sajaratul yakin, tumbuh dalam alam makdum yang azali abadi, setelah itu cahaya bernama Nur Muhammad, kemudian kaca bernama miratul kayai, selanjutnya nyawa bernama roh idlafi, lampu bernama kandil, lalu permata bernama dharrah, kemudian dinding jalal bernama hijab, yang menjadi penutup kehadirat-Ku.)
Dalam Serat Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita tersebut, termuat urutan kejadian Dzat dan Sifat dan Af’al (perbuatan) Tuhan. Yang dimaksud dengan AKU atau INGSUN dalam serat itu tidak lain adalah diri Dzat yang Mutlak. AKU sang Diri Sejati itu mulanya “tersembunyi” atau dumunung di Nukat Ghaib. Nukat artinya Wiji sedangkan Ghaib artinya samar. AKU atau INGSUN kemudian berniat menyatakan diri sebagai PENCIPTA SEGALA SESUATU.
“Niat Ingsun….” begitu doa orang Jawa biasa diucapkan adalah meniru apa yang disampaikan Tuhan untuk memulai proses-proses penciptaan. Akhirnya dimulailah ketujuh pangkat penjelmaan Dzat (tujuh martabat) yang disimbolisasikan ke dalam khasanah Jawa dengan Pohon Dunia, Cahaya, Cermin, Wajawa (roh Idhafi), Dian (kandil), permata (dharrah), dinding jalal (penjelmaan insan kamil).
Keberadaan Dzat Tuhan itu ibarat CERMIN YANG AMAT JERNIH atau KACAWIRANGI. Yaitu DIRI yang diliputi kekosongan yang berisi TYAS CIPTA HENING. Cermin itu tidak ada bandingannya, tidak punya rupa, warna, kosong tidak ada apa-apanya. Namun adalah kesalahan bahwa kekosongan Dzat Tuhan adalah TIDAK ADA, sebab CERMIN itu TETAP ADA.
Ki Soedjonoredjo penulis buku Wewadining Rasa mengatakan kesalahan anggapan bahwa TUHAN ITU TIDAK ADA, sebagai berikut: “Mbok menawa ana sawenehing manungso kang kliru ora percaya marang anane kang murbeng alam. Dadi ananing dhirine lan anane kang gumelar gumandhul karang kabeh, kaanggep gumandul marang suwung kang mangkono iku umpamakna nganggep suwung marang warna rupaning kaca benggela, satemah kaca benggala dipadhakake karo kothongan kang pancen suwung babar pisan. Apa iku bener?”
Wujud cermin sejati atau kacawirangi adalah “wangwung”, tidak ada apa-apa. Pantas bila orang lalu menganggapnya tidak ada sebab cermin itu terlihat begitu jernih, seperti tidak adanya rupa apapun. Tapi cermin itu tetap ada. CERMIN SEJATI ITU SATU TAPI TIDAK TERHINGGA JENIS DAN BILANGANNYA.
Orang yang hubungan MIKROKOSMOS dan MAKROKOSMOS nya masih kacau cenderung menganggap cermin itu tidak ada. Padahal, Hakikat Cermin adalah daya tunggal getar kodrat yang harmonis. Semua yang tunggal daya juga tunggal rasa. Misalnya daya tunggal yang disebut pengelihatan, itu tidak sama dengan dengan pendengaran. Daya tunggal-daya tunggal yang tiada batas jenis dan bilangannya itu dibingkai oleh keadaan sejati.
Di dalam buku Dewa Ruci (Yasadipura) terdapat inti ajaran mengenai “cermin” tersebut di atas sebagai berikut: “Badan njaba wujud kita iki, badan njero mungguwing jroing kaca, ananging dudu pangilon, pangilon jroning kalbu yeku wujud kita pribadi, cumithak jro panyipta, ngeremken pandudu, luwih gedhe barkahira, lamun janma wus gambuh ing badan batin, sasat srisa bathara”
Kisah Dewaruci ini adalah inti Sangkan Paraning Dumadi, sekaligus sebagai pengungkapan ajaran Kawulo Gusti sampai kepada jarak yang sedekat-dekatnya yang dikenal sebagai PAMORING KAWULO GUSTI atau JUMBUHING KAWULO GUSTI. Ajaran tentang sangkan paraning dumadi yang dilaksanakan sebagai pedoman hidup praktis sehari-hari, sebagaimana yang terungkap dalam buku Jati Murti itu merupakan ajaran yang mudah dipahami. Sisi praktisnya terungkap dalam pernyataan yang sering disampaikan oleh Ki Damardjati Supadjar:
Ora perlu kabotan tresna marang daden-daden, tresnaa marang sing dadi. Nanging aja gething marang daden-daden, sebab ing kono ana sing dadi
Pernyataan ini, kata Ki Damardjati, menjelaskan hubungan antara KEJADIAN dan YANG MENJADIKAN, atau YANG DIRASA dengan YANG MERASA. Yang menghubungkan keduanya adalah RASA. Alam semesta ini adalah yang dirasakan, bukan rasa atau yang merasakan. Yang digunakan untuk merasa ialah rasa bukan yang dirasakan atau yang merasakan. Jadi, kenyataan sejati itu bukan yang dirasakan atau bukan yang dipergunakan untuk merasa, melainkan yang merasa. Yang dirasa disebut MAKROKOSMOS, yang dipakai merasa disebut MIKROKOSMOS. Yang merasa disebut KENYATAAN SEJATI.
Di dalam hubungan ini, ada tiga kemungkinan pengalaman yaitu LUPA, INGAT dan INGATAN SEMPURNA. Lupa = larut ke yang dirasakan, tidak memperhatikan rasanya, apalagi yang merasa. Ingat = waspada tentang rasa, tidak larut ke yang dirasakan. Ingatan sempurna = waspada terhadap yang merasa, tidak larut ke rasanya apalagi yang dirasakan.
Dalam filsafat ketuhanan Jawa, hubungan Manusia dan Tuhan (Kawulo-Gusti) memiliki makna sangat mendalam. Manusia harus merasakan benar-benar bahwa dirinya adalah hamba-Nya atau KUMAWULA yang artinya dirinya merupakan cermin yang sejati, sehingga Tuhan dan bayangan-Nya sungguh-sungguh tidak terhalang oleh kotoran sedikitpun. Hal ini ditandai oleh koreksi terus menerus atas diri “aku” manusia sehingga mencapai kualitas PRAMANA.
Diungkapkan oleh Ki Damardjati, ketika rasa perasaan belum jernih, adalah rasa perasaan itu yang dianggap PRIBADI oleh si rasa perasaan. Artinya si rasa perasaan mengaku aku supaya dianggap: AKU. Jadi rasa perasaan manusia itu ternyata memang tidak bisa melihat yang meliputinya. Jadi dalam perbuatan MERASA, bahkan menghalang halangi. Karenanya, dapatnya manusia melihat terhadap yang meliputinya, tidak ada jalan lain kecuali TIDAK dengan MERASA, yaitu RASA PERASAAN KEMBALI KEPADA YANG MELIPUTI (Pribadi/Rasa Sejati). Apabila sudah tidak terhalang daya rasa perasaan, maka hanya PRIBADI yang ADA, disitulah baru mengetahui terhadapi DIA, yaitu yang MEMILIKI RASA PERASAAN, bukan RASA PERASAAN YANG DIPUNYAI.
Sultan Agung menerangkan perbedaan antara Kawulo Gusti dengan perantaraan 16 terminologi yang memperjelas hubungan antara Gusti (YANG DISEMBAH) dan Kawulo (YANG MENYEMBAH) sebagai berikut: Dzat-sifat, Rasa-pangrasa, Cipta-ripta, Yang disembah-yang menyembah, Kodrat-iradat, Qadim-baru, Sastra-gendhing, Yang Bercermin-bayangannya, Suara-gema, Lautan-ikan, Pradangga-gendhingnya, Papan Tulis-tulisannya, Manikmaya-Hyang Guru, Dalang-wayang, Busur-anak panah, Wisnu-kresna.
Dalam konteks pencapaian pribadi manusia tertinggi atau “pamungkasing dumadi” atau “sampurnaning patrap” adalah LULUHING DIRI PRIBADI, LULUHING RAOS AKU. Itulah pamungkasing dumadi, di situ lenyap tabir kenyataan yang sebenarnya.
Manusia yang sempurna dengan demikian adalah manusia yang luluhnya “aku” yang “diengkaukan” (krodomongso) digantikan dengan “aku” yang tidak mungkin diengkaukan (dudu kowe).
Hubungan antara Kawulo-Gusti ini, akan ditutup dengan pernyataan Ranggawarsita: “Sakamantyan denira angudi, widadaning ingkang saniskara, karana tan kena mleset, surasaning kang ngelmu, nora kena madayeng jangji, jangjine mung sapisan, purihen den kumpul, gusti kalawan kawula, supadine dinadak bisa umanjing, satu munggwing rimbagan” (Upaya untuk mencapai pemahaman haruslah terus menerus sepanjang hidup, agar tercapai keselamatan lahir-batin, yaitu KESESUAIAN HUKUM TUHAN, sebagai suatu janji, bahwa MANUSIA ITU WUJUD PERTEMUAN KAWULA GUSTI, artinya WAKIL TUHAN, sedemikian rupa seperti cincin permata).
Sebagai Wakil Tuhan di alam semesta, manusia telah diberi berbagai perangkat lunak sehingga dia bisa berhubungan secara langsung dan berkomunikasi dengan Tuhan sebagai GURU PALING SEJATI MANUSIA. Dalam Wirid Hidayat Jati dipaparkan ada tujuh unsur pokok penyusun diri manusia itu:
1. Hayyu (hidup) = disebut ATMA, terletak di luar DZAT
2. Nur (cahaya) = disebut PRANAWA terletak di luar Hayyu
3. Sir (Rahsa) = disebut PRAMANA terletak di luar Nur
4. Roh (Nyawa) = disebut Suksma, terletak diluar Rahsa
5. Nafs (Angkara) = letaknya di luar suksma
6. Akal (budi) =letaknya diluar nafsu
7. Jasad (badan) = letaknya di luar budi.
Keterangan: Ada keterpaduan antara unsur di atas yaitu:
• Suksma wahya = patemoning jasad lan napas
• Suksma dyatmika = patemoning napas lan budi
• Suksma lana = patemoning budi lan napsu
• Suksma mulya = patemoning napsu lan nyawa
• Suksma sajati =patemoning nyawa lan rahsa
• Suksma wasesa = patemoning rahsa lan cahya
• Suksma kawekas = patemoning cahya lan urip

Penutup:
Terdapat kesulitan memahami hakekat hubungan antara Kawulo-Gusti dalam jagad filsafat ketuhanan Jawa bila kita hanya membaca dengan kemampuan akal budi. Dalam ajaran Jawa, kita diajari untuk melakukan praktik mistik dengan kepercayaan yang benar-benar penuh sehingga terwujud harmoni dan kesatuan dengan tujuan kosmos. Ini akan membuahkan kondisi-kondisi fisik dan metafisik yang bermanfaat bagi kita semua. Tuhan bersemayam di unsur terdalam pada diri manusia sehingga “Kenalilah diri sendiri, maka kau akan mengenal Tuhanmu.”
Pengertian Kejawen…
Mari kita mengutip satu tembang Jawa
Tak uwisi gunem iki (saya akhiri pembicaraan ini)
Niyatku mung aweh wikan (saya hanya ingin memberi tahu)
Kabatinan akeh lire (kabatinan banyak macamnya)
Lan gawat ka liwat-liwat (dan artinya sangat gawat)
Mulo dipun prayitno (maka itu berhati-hatilah)
Ojo keliru pamilihmu (Jangan kamu salah pilih)
Lamun mardi kebatinan (kalau belajar kebatinan)

Tembang ini menggambarkan nasihat seorang tua (pinisepuh) kepada mereka yang ingin mempelajari kebatinan cara kejawen. Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia) dan Gusti (Pencipta) ( jumbuhing kawula Gusti )/pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.
Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Tuhan, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap. Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Ati suci jumbuhing Kawulo Gusti – hati suci itu adalah hubungan yang serasi antara Kawulo dan Gusti, kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional* yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai.

Aksara Hanacaraka sebagai Pemandu Spiritual

Prawacana dari makna Aksara Hanacaraka oleh Sultan Paku Buwana IX
Almarhum Pujangga Kraton Surakarta Hadiningrat Raden Ngabei Yasadipura, mengemukakan ajaran Sultan Paku Buwana IX mengenai aksara Hanacaraka dan dimulai dengan tembang kinanthi, yang terjemahan bebasnya sebagai berikut:
Tidak kurang pelajaran; bagi orang tanah Jawa; dalam melakoni kehidupan; Apabila mau melakoni; makna aksara Jawa; dianggap sebagai Guru Sejati.
Makna huruf
Ha Hana hurip wening suci - adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci
Na Nur candra,gaib candra,warsitaning candra - Harapan manusia hanya selalu ke sinar Ilahi
Ca Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi - satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal
Ra Rasaingsun handulusih - rasa cinta sejatiku muncul dari cinta kasih
Ka Karsaningsun memayu hayuning bawana - hasratku memperindah alam semesta
Da Dumadining dzat kang tanpa winangenan - hidup memang demikian adanya
Ta Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa – holistik: mendasar, total, tepat, teliti dan bermakna
Sa Sifat ingsun handulu sifatullah – sifatku seperti sifat kasih Tuhan
Wa Wujud hana tan kena kinira - wujud ada namun tak bisa diperkirakan
La Lir handaya paseban jati – mengalir semata pada tuntunan Ilahi
Pa Papan kang tanpa kiblat - Hakekat Allah yang ada disegala arah
Dha Dhuwur wekasane endek wiwitane – akhirnya di atas awalnya di bawah
Ja Jumbuhing kawula lan Gusti - menyatu dengan Tuhan
Ya Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi - yakin atas kodrat Ilahi
Nya Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki - nyata tanpa indera, paham tanpa diajari
Ma Madep mantep manembah mring Ilahi – yakin, mantap dalam berbhakti pada Ilahi
Ga Guru sejati sing muruki - belajar pada guru sejati
Ba Bayu sejati kang andalani - menyelaraskan diri pada gerak alam
Tha Tukul saka niat - dimulai dari niat
Nga Ngracut busananing manungso - melepaskan ego manusia
Penjelasan Bhagavad Gita
Buku Jnana Vahini sebagai penjelasan dari Bhagavad Gita menguraikan hal berikut:
Maya, ilusi mempunyai kekuatan untuk:
1. menyembunyikan sifat dasar yang sejati dan
2. menimbulkan kesan yang keliru sehingga yang tidak nyata tampak sebagai nyata.
Kedua hal tersebut membuat Brahman yang tunggal dan esa tampak sebagai: jiwa, Iswara (Tuhan), dan alam semesta; tiga hal yang sesungguhnya hanya satu! Kemampuan maya terpendam, tetapi bila menjadi nyata, ia akan mengambil wujud manas, pikiran. Pada waktu itulah benih pohon yang besar (yaitu alam semesta) mulai bertunas, menumbuhkan daun dorongan mental (vasana) dan kesimpulan mental (sankalpa). Jadi, seluruh dunia objektif ini hanya berkembang biak dari manas. Maya, ilusilah yang menimbulkan khayal adanya jiwa, Iswara (Tuhan), dan alam semesta.
Dalam keadaan jaga dan mimpi ketiga hal ini tampak seakan-akan nyata. Tetapi pada waktu tidur lelap atau pada waktu tidak sadar (misalnya ketika pingsan), manas tidak bekerja dan karena itu ketiga hal tersebut tidak ada! Fakta ini dialami oleh semua orang. Karena itu dapat dipahami bahwa ketiga hal ini (jiwa, Iswara dan alam semesta) akan lenyap selama-lamanya bila proses mental dimusnahkan melalui jnana, keberadaan pengetahuan sejati. Kemudian manusia akan terlepas dari perbudakan pada ketiga hal ini dan mengetahui eksistensi yang esa dan satu-satunya. Sesungguhnya ia menetap dalam advaitha jnana, Keadaan Yang Esa. Hanya jnana yang diperoleh dengan menganalisis proses mentallah yang dapat mengakhiri maya. Vidya `pengetahuan atau penerangan batin' melenyapkan maya. Segera setelah maya dihancurkan oleh vidya, vidya pun berakhir. Pepohonan-maya dan api-vidya semuanya musnah bila api telah menyelesaikan pekerjaannya. Jnana adalah hasil akhir, dicapainya kekosongan, keseimbangan, dan kedamaian yang sempurna.
Sebuah pandangan pribadi
Makna huruf Aksara Jawa ajaran Sultan Paku Buwana IX di atas adalah Vidya, atau pengetahuan batin untuk melenyapkan maya, ilusi yang telah membuat jiwa, Iswara dan alam semesta nampak terpisah. Makna huruf Aksara Jawa tersebut merupakan laku, pemahaman yang diwujudkan dalam tindakan luar sehari-hari dan afirmasi, mantra, keyakinan yang diresapkan ke dalam bawah sadar untuk merubah diri dari dalam, menuju jumbuhing kawula-Gusti, penyatuan, yoga.
Ha-Na-Ca-Ra-Ka, ada Utusan, yang berwujud pengetahuan sejati, Vidya. Da-Ta-Sa-Wa-La, Utusan yang jujur, tidak berdusta, tidak pernah mengelak, penerang, cahaya Ilahi. Pa-Dha-Ja-Ya-Nya, pada saat manusia, si penerima utusan meningkatkan kesadarannya melalui vidya dan mencapai tingkat yang sama dengan Pengutusnya, Kesadaran Murni. Terjadilah Jnana, Jumbuh kawula Gusti, persatuan antara hamba dengan Kesadaran Murni. Ma-Ga-Ba-Tha-Nga, manas, ego telah menjadi jasad. Diri telah bersatu dengan Kesadaran Murni. Manusia asal katanya dari manas (pikiran) dan Isha (Yang Tunggal), ketika manas ditaklukkan tinggallah Yang Tunggal. La Illa ha Illallah. Tidak ada yang lain selain Allah.
AJARAN FILSAFAT HIDUP BERDASARKAN HURUF AKSARA JAWA

Sebagai orang keturunan jawa, sedikit kami akan mengupas makna aksara jawa
sebagai filsafah hidup, suatu upaya kami untuk melestarikan ajaran para pendahulu,
sebagai balas budi dan darma bakti kami kepada beliau atas ajarannya akan sebuah
arti hidup, lewat karyanya yang sangat besar ini.

Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan ).

Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data ( saatnya dipanggil ) " tidak boleh sawala " ( mengelak ) manusia dengan segala atributnya harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.

Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok, tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan.
Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan,sekedar menang atau menang tidak sportif.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

MAKNA HURUF
Ha :Hana hurip wening suci= Adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci.
Na :Nur candra, gaib candra, warsitaning candara= Pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi.
Ca :Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi= Arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal
Ra :Rasaingsun handulusih = Rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani
Ka :Karsaningsun memayuhayuning bawana = Hasrat diarahkan untuk kesajetraan alam
Da :Dumadining dzat kang tanpa winangenan = Menerima hidup apa adanya
Ta :Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa = Mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup
Sa :Sifat ingsun handulu sifatullah= Membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan
Wa :Wujud hana tan kena kinira = Ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas
La :Lir handaya paseban jati = Mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi
Pa :Papan kang tanpa kiblat = Hakekat Allah yang ada disegala arah
Dha :Dhuwur wekasane endek wiwitane = Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar
Ja :Jumbuhing kawula lan Gusti = Selalu berusaha menyatu, memahami sifat dan kehendak- Nya
Ya :Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi = Percaya dan Yakin atas titah / kodrat Illahi
Nya :Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki = Memahami kodrat kehidupan
Ma :Madep mantep manembah mring Ilahi = Yakin/mantap dalam menyembah Ilahi
Ga :Guru sejati sing muruki = Belajar pada guru nurani
Ba :Bayu sejati kang andalani = Menyelaraskan diri pada gerak alam
Tha :Tukul saka niat = Sesuatu harus dimulai dan tumbuh dari niat yang suci
Nga :Ngracut busananing manungso = Melepaskan egoisme pribadi manusia.

Adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci - pengharapan manusia hanya
selalu ke sinar Illahi - satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal - rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani - hasrat diarahkan untuk kesajetraan alam - menerima hidup apa adanya - mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup - membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan - ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas - mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi - Hakekat Allah yang ada disegala arah - Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar - selalu berusaha menyatu, memahami sifat dan kehendak Nya – percaya dan yakin atas titah / kodrat Illahi - memahami kodrat kehidupan - yakin / mantap dalam menyembah Ilahi - belajar pada guru nurani - menyelaraskan diri pada gerak alam - sesuatu harus dimulai - tumbuh dari niat yang suci - melepaskan egoisme pribadi manusia

Hanacaraka atau dikenal dengan nama caraka adalah abjad / alat tulis yang digunakan oleh suku Jawa (juga Madura, Sunda, Bali, Palembang, dan Sasak).
Aksara Jawa bila diamati lebih lanjut memiliki sifat silabik (kesukukataan). Hal ini bisa dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili 2 buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh aksara Ha yang mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata "hari".

Aksara Na yang mewakili dua huruf yakni N dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata "nabi".
Beberapa buah aksara itu bisa digabungkan secara langsung untuk membentuk
sebuah kata.

Bila diucapkan, susunan aksara tersebut dapat membentuk kalimat:
Hana Caraka (Terdapat Pengawal);
Data Sawala (Berbeda Pendapat);
Padha Jayanya (Sama kuat/hebatnya);
Maga Bathanga (Keduanya mati).

Aksara Jawa, merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai harganya.
Bentuk aksara dan seni pembuatannya pun menjadi suatu peninggalan yang patut untuk dilestarikan. Tak hanya di Jawa, aksara Jawa ini rupanya juga digunakan di daerah Sunda dan Bali, walau memang ada sedikit perbedaan dalam penulisannya.
Namun sebenarnya aksara yang digunakan sama saja.
Demikian kurang lebih arti dan makna yang tekandung dalam Filsafat aksara jawa.
Semoga bermanfa'at bagi kita semua. Amien.
Jumbuhing Kawulo Gusti
Nilai-nilai spiritual Jawa mengajarkan kita agar selalu membangun hubungan yang harmonis dengan Sang Gusti atau Tuhan atau biasa disebut dengan istilah jumbuhing kawulo Gusti. Jumbuh itu hubungan yang baik atau hormonis. Kata “ing” di situ bisa kita pahami seperti kata “ing” dalam bahasa Inggris yang kerap berfungsi menjadi Gerund, seperti dalam kata look menjadi looking, search menjadi searching, dan seterusnya, atau Masdar dalam bahasa Arab.
Lalu siapa itu kawulo? Menurut nilai-nilai spiritual Jawa, kawulo itu kita semua. Semua orang adalah kawulo atau hamba. Tugas kawulo adalah menjalankan apa yang diperintahkan Gustinya. Meski manusia itu diposisikan sebagai kawulo, tapi pengertian kawulo di sini bukan kawulo yang manut asal manut secara pasrah-kalah atau pasif-lemah, seperti layaknya kawulo pada manusia.
Pengertian kawulo dalam ajaran spiritual Jawa adalah hamba yang menyadari tugas utamanya, potensi yang ada di dalam dirinya, atau peranan yang harus dijalaninya. Ini bisa kita lihat dari pesan-pesan fundamental dalam pewayangan. Secara umum, pewayangan mengajarkan tiga hal kepada kawulo:
Pertama, kawulo perlu menyadari bahwa di dunia ini ada kebaikan dan keburukan, kejahatan dan kesalehan, kesalahan dan kebenaran, energi positif dan energi negatif, dan seterusnya.
Kedua, tugas kawulo adalah memilih atau tepatnya memperjuangkan yang positif, yang baik, yang saleh dan melawan yang tidak baik, yang menyimpang, atau melawan energi negatif. Kawulo punya tugas berjuang, bukan menunggu nasib atau pasrah pada keadaan atau terlalu memberi toleransi pada keburukan.
Ketiga, memberikan bukti sejarah atau fakta-fakta realitas bahwa siapa yang memperjuangkan kebaikan, kebenaran, kemaslahatan itu akhirnya pasti mendapatkan kemenangan, meski di tengah-tengahnya, sering mengalami kekalahan oleh kekuatan jahat. Kita disuruh mencontoh Pendawo atau Satria dan dilarang mencontoh kehidupan Kurowo dan kroninya.
Jadi, kawulo di situ adalah pejuang gagasan, ide, nilai-nilai, atau prinsip sebagai bukti keharmonisan hubungan. Sedangkan untuk istilah Gusti, masyarakat Jawa tempo dulu menggunakannya untuk menyebut orang atau Dzat yang tinggi atau Yang Maha Tinggi. Karena itu, untuk menyebut Tuhan, disebutnya Gusti Allah. Sedangkan untuk pembesar masyarakat, seperti raja disebutnya gusti. Bahkan sampai sekarang, putra kyai di Jawa masih dipanggil gus, seperti Gus Dur, Gus Mus, dan seterusnya, entah itu singkatan dari den bagus atau gusti (orang yang punya derajat tinggi).
Terlepas apapun pengertiannya, tapi dari sini bisa kita lihat bahwa masyarakat Jawa tempo dulu sudah mengalami transformasi spiritual yang cukup dahsyat, sama seperti bangsa-bangsa besar lain di dunia, seperti Yunani, Mesir, dan lain-lain, yang membuat mereka punya basis yang kuat untuk berkesimpulan bahwa di jagat raya ini ada kekuatan agung yang disebutnya Gusti atau Tuhan.
Karena itu, menurut nilai-nilai spiritual Jawa, orang yang masih mempertanyakan keberadaan Tuhan di abad milinium ini dianggapnya sangat ketinggalan zaman, yang disebabkan oleh ketertinggalannya membaca ayat-ayat (tanda-tanda) alam atau dianggap sebagai orang yang spiritualnya tidak mengalami developing.
Ingsun Sejati Sebagai Proses
Memahami seperti apa itu Ingsun Sejati memang rumit. Ini tidak hanya di nilai-nilai spiritual Jawa. Di kajian Psikologi atau HRD (Human Resource Development) sekali pun, penjelasan mengenai diri (ingsun) sejati (real / truth) itu tidak cukup dijelaskan dengan kata-kata yang ada. Cuma, baik di Jawa atau di ilmu pengetahuan modern, menjadi Ingsun Sejati itu bukan hasil, melainkan proses yang terus menerus perlu diperjuangkan oleh kawulo.
Dari perspektif spiritual, bisa disimpulkan bahwa menjadi Ingsun Sejati itu baru bisa diraih apabila kita sudah selalu menjalankan kesadaran untuk berperan di berbagai bidang yang tujuan dan caranya adalah kebaikan, kebenaran, atau kemaslahatan, baik itu untuk diri sendiri dan orang lain, karena kita menyadari itulah perintah Gusti kepada kita dan itulah alasan kenapa Gusti itu memberikan sekian anugerah dan nikmat kepada kita.
Kalau kita lihat di kajian ilmu pengetahuan modern, sebagian besar esensi dari Ingsun Sejati itu sama, kecuali pada tujuan akhir dan pada penjelasan yang lebih konkret untuk cara berpikir yang dianut orang sekarang. Di kajian ilmu pengetahuan, Gusti tidak dinyatakan sebagai tujuan akhir dari proses penggalian karena (mungkin) dinilai masuk wilayah pribadi. Esensi Ingsun Sejati kalau merujuk pada kondisi modern saat ini, bisa kita lihat dari beberapa indikatornya seperti berikut ini, antara lain :
1) Eling lan waspada: eling maksudnya yakni tidak akan kehilangan persepsi obyektif dan rasional terhadap dirinya dan ingsun sejati punya pemahaman, dan punya penerimaan yang akurat terhadap dirinya. Tanda-tandanya adalah tidak minder dan tidak berlebihan; tidak rendah-diri dan tidak pula tinggi hati; tidak inferior dan tidak superior.
Eling lan waspada juga mencakup kemampuan berkesadaran terhadap munculnya berbagai emosi dan rasa yang muncul, disertai dengan kemampuan mengolah roso-nya. Tanda-tandanya adalah punya kemampuan dalam menangani persoalan dengan proporsional, punya kendali diri yang pas, tidak kurang tidak lebih, tidak berlebihan menanggapi kesenangan atau kesedihan, tetap bisa fokus pada hal-hal positif di tengah kekacauan atau kemapanan, tidak menjadi sombong dan lupa diri (dumeh)
2) Unggah ungguh: punya kemampuan beretika yang tinggi di dalam menjalankan kehidupannya, mampu mengekspresikan perasaan dan keinginan, rasa – karsa secara konstruktif dan efektif. Tanda-tandanya adalah mampu memikirkan dan memilih sikap dan ungkapan yang bagus dalam berkomunikasi atau mengkomonikasikan sesuatu kepada orang lain, mampu memilih tindakan dengan memikirkan konsekuensinya pada orang lain di luar dirinya atau keluarganya.
3) Sumarah, sumeleh dan sumrambah: ketiga elemen ini jika di satukan secara umum digambarkan seperti punya kematangan dan keberlimpahan emosi, bahagia pada dirinya (contentment) atau punya kemandirian mental, kesabaran yang benar, tidak mudah tertusuk perasaannya oleh orang lain, tidak mudah merasa merana, rasional dalam menyelesaikan persoalan, tidak mudah terbuai oleh hal-hal yang menipu, serta mampu merantasi hidup yang penuh tantangan dan persoalan. Deskripsi ini sebenarnya masih belum cukup untuk menggambarkan ketiga elemen tersebut.
4) Aktualisasi diri : punya tujuan yang terus direalisasikan dengan mengembangkan potensi. Tandanya antara lain: memiliki langkah hidup yang dinamis, punya kemauan belajar, berani bereksperimentasi ide-ide baru, tetap memiliki perhitungan, membutuhkan orang lain namun tidak mengandalkan mereka.
Atau dengan kata lain, orang yang belum menemukan Ingsun Sejati-nya akan kurang bisa berperan sesuai dengan dirinya dan lingkungannya karena terhalangi oleh penilaian yang me-minder-kan dirinya atau penilaian yang meng-over-kan dirinya sehingga menjadi sombong atau berlebihan. Itulah kenapa, menurut penulis buku Healing The Child Within, Dr. Charles L. Whitfield, M.D (1989), kalau kita ingin tahu the real self kita, lihatlah anak-anak kecil yang terbebas dari rasa minder dan over ketika bereksplorasi atau mengembangkan diri (free to grow, to develop, dst).
Menuju Urip Sejati
Definisi Urip (Hidup) Sejati tidak tunggal dan tidak bisa ditunggalkan juga. Kalau mau pakai yang pasti benarnya, Urip Sejati itu adanya nanti setelah kita meninggal dunia atau di negeri akhirat dimana ruang untuk memilih dan memperjuangkan sudah tidak dibuka. Tapi, untuk konteks hidup di dunia ini, pengertian Urip Sejati itu yang benar memang tidak pernah ada titiknya, karena dunia sendiri itu ruang untuk berproses.
Jika dikembalikan pada nilai-nilai spiritual Jawa, Urip Sejati itu baru akan terwujud saat kita sudah sanggup menjalani hidup di alam Kasunyatan di dunia ini. Kasunyatan sendiri artinya the true reality yang merupakan esensi dari diri kita dan dunia ini. Seperti kita tahu, baik kita dan dunia ini mengandung realitas yang materi (beserta simbolnya, seperti uang, pekerjaan, dst) dan realitas non-materi (beserta representasinya, seperti nilai, prinsip, Tuhan, dst).
Begitu kita sudah mulai belajar (berproses) untuk menjalani hidup berdasarkan realitas materi dan non-materi, maka kita sudah berada pada jalur hidup yang menuju Urip Sejati. Kalau niat kita kerja hanya untuk mencari materi saja, itu belum Urip Sejati. Sama juga kalau kita mengabaikan materi dengan lari ke gunung. Yang Sejati adalah materi dan non-materi dengan menempatkan diri kita sebagai kawulo bagi Tuhan dan penguasa bagi diri sendiri atau ber-topo (tapa).
Dari sini bisa dipahami bahwa alam Kasunyatan sendiri tak bertepi atau lebih tepatnya bisa disebut ruang hampa yang menawarkan kesempatan berproses tak terbatas, sesuai kemampaun dan keterbatasan kita masing-masing. Biasanya, padanan dari Kasunyatan adalah Kadonyan, yang diambil dari kata donyo atau duniawi. Duniawi sendiri, kalau merujuk ke asal katanya dari bahasa Arab, adalah pendek, rendah, atau dekat. Orang yang hanya berkonsentrasi untuk urusan duniawi semata disebutnya orang yang berjiwa pendek, memperjuangkan sesuatu yang tidak mulia atau hanya berpikir untuk sesuatu yang nyata-nyata saja (dekat).

Ingsun, Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar)

1.“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah
Allah, kang murba amisesa.”

Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi segala sesuatu.”
Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yg disebut mir’ah al-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-adu (adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.

2. “Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.”
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.
Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan nama-NYA.
3.“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”
Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan atau tidak kekal.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.
Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
4. “Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yg dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dari selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil “Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)”, yg maknanya Allah yg menciptakan engkau dan segala apa yg engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil “Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17)”, maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi”, yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.”
Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas peranannya, dimana manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, kemana af’al itu dipancarkan.
5. “Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah. Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dgn seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yg sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.”
Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.

Animated Pictures Myspace CommentsAnimated Pictures Myspace Comments